Kejadian di atas menimpa sahabat Abubakar, ketika beberapa orang menuduh Aisyah anaknya –yang juga istri Rasulullah- telah berzina, dan salah satu yang menuduh adalah Misthah bin Utsatsah, salah seorang sepupu Abubakar yang miskin dan hidup dari pemberian Abubakar. Ketika itu Abubakar bersumpah untuk tidak memberikan uang lagi pada Misthah. Hal ini wajar dilakukan oleh manusia biasa, yang hatinya terluka ketika Misthah –yang hidup dari uang pemberian Abubakar- ikut-ikutan menuduh Aisyah berzina. Namun Allah sang Maha Pengasih, ingin memberikan pelajaran bagi kaum muslimin tentang akhlak yang mulia, yaitu pemaaf. Lalu turunlah ayat ini menghibur Abubakar, bahwa orang pemaaf akan dimaafkan oleh Allah. Akhirnya Abubakar tetap memberikan nafkah pada sepupunya tadi, karena mengharap ampunan dari Allah.
Terjemah surat An Nur ayat 22 yang turun berkenaan Abubakar:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 24:22)
Ayat ini menjelaskan manfaat dari maaf yang kita berikan kepada orang lain, bahkan ketika orang lain melukai hati kita. Manfaat dari memberi maaf bukan hanya bersifat duniawi, yaitu si pemaaf akan dicintai orang banyak, tetapi ada manfaat ukhrawi dari memberi maaf, yaitu ampunan dari Allah, karena amalan akan dibalas dengan pahala yang setimpal.
Salah satu kisah yang sering diulang-ulang oleh kaum syi’ah –yang ingin membuat black campaign kepada Abubakar – adalah kisah fadak. Tetapi kita tidak pernah mendengar ustadz syi’ah mengisahkan ending kisah ini, seakan-akan kisah ini hanya berakhir dengan Fatimah yang pulang ke rumahnya dan marah, selesai sampai di sini. Ternyata masih ada babak episode yang dipotong dan ending dari kisah fadak, tetapi entah mengapa ustadz syi’ah tidak pernah membahasnya.
Yang jelas kitab syi’ah sendiri memuat ending dari kisah fadak ini, yaitu dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah yang ditulis oleh Ibnu Abil Hadid pada jilid 1 hal 57, dan Ibnu Al Maitsham pada jilid 5 hal 507, disebutkan :
Sudah selayaknya kita meniru teladan dari kisah di atas, tidak membawa dendam dalam hati untuk waktu yang lama. Semua yang telah berlalu hendaknya kita maafkan, demi mengharap keridhoan dan ampunan Allah. Siapa yang tidak menginginkan ampunan Allah?
Riwayat di atas menguatkan riwayat dari Sunan Baihaqi yang kami nukilkan di salah satu makalah situs ini. Namun ada penjelasan yang dirasa perlu untuk disampaikan.
Baihaqi meriwayatkan dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: "Wahai Fatimah ini Abu Bakar minta izin." Fatimah berkata: "Apakah kau setuju aku mengijinkan ?", Ali berkata: "Ya." Maka Fatimah mengijinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: "Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasulnya dan kalian keluarga Nabi.
Ibnu Hajar mengutip dari Ad Daruquthni bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali, hadits itu tercantum dalam shahih Bukhari. Sehingga terkesan bahwa riwayat di atas adalah putus sanadnya karena Sya’bi hanya meriwayatkan sebuah hadits dari Ali. Lalu bagaimana status riwayat ini? Jelas riwayat ini mursal, tetapi riwayat mursal memiliki banyak tingkatan, ini dijelaskan dalam kitab biografi perawi. Kita bisa memahami jika orang awam yang belum memperdalam ilmu hadits mempertanyakan riwayat ini. Tapi mestinya dia melihat bagaimana Ibnu Katsir memberi dua kemungkinan, bisa jadi dia mendengar dari Ali atau mendengar dari orang yang mendengar dari Ali, karena Ibnu Katsir menyadari penjelasan ulama bahwa Sya’bi hanya meriwayatkan satu hadits dari Ali bin Abi Thalib. Ibnu Katsir – yang tentunya lebih mengerti hadits dari kita-kita yang awam- mengatakan sanad ini kuat dan bagus, karena Ibnu Katsir telah mempelajari status riwayat Sya’bi dari kitab biografi perawi hadits. Tidak ada salahnya kita yang awam ini membaca langsung terjemahan nukilan dari kitab biografi perawi, agar mendapat gambaran lebih jelas tentang status riwayat dari Sya’bi – yang nama lengkapnya adalah Amir bin Syurahil As Sya’bi-:
Tahdzibut Tahdzib jilid 5 hal 59
Pada halaman yang sama Ibnu Hajar menukil ucapan Al Ajurri dari Abu Dawud: mursal dari Sya’bi lebih aku sukai daripada mursal Nakha’i.
Ditambah lagi dengan riwayat dari Syarah Nahjul Balaghah karya Ibnul Maitsam dan Ibnu Abil Hadid yang menguatkan riwayat ini.
Allah menyebutkan salah satu sifat golongan muttaqin –orang bertakwa- dalam surat Ali Imran ayat 134, yaitu mereka yang memaafkan kesalahan manusia.
Tidak layak kita menyimpan dendam dalam hati selama bertahun-tahun, tanyakan pada diri kita apa manfaat yang kita dapat dari menyimpan dendam? Yang kita dapat adalah rasa marah, tidak ada manfaat yang kita dapat. Sebaliknya, maaf dapat membuat hati kita tenang dan lapang, selain itu kita juga mendapat berita gembira dari Allah, apakah kita tidak ingin mendapat ampunan dari Allah?
{mxc}